PerbedaanHikayat dan Cerita Rakyat Maret 09 2013 1Perbedaan dan persamaan hikayat dan cerita rakyat dan berikan contohnya masing-masing. Hikyat umumnya menggunakan kata pembuka Alkisah sedangkan cerita rakyat menggunkan kata pembuka Pada Zaman Dahulu Kala. Isi hikayat biasanya bercerita tentang kehebatan dan kesaktian para raja pangeran dll - Hikayat dan cerita pendek cerpen adalah dua jenis karya sastra yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Keduanya memiliki karakteristik tersendiri dan punya beberapa persamaan. Di sisi lain, hikayat dan cerpen juga memiliki sejumlah perbedaan, termasuk dari segi bahasa yang adalah penjelasan selengkapnya terkait pengertian hiyatat, cerpen, beserta Hikayat Hikayat adalah karya sastra lama berbentuk prosa yang di dalamnya berisi tentang kisah-kisah masa lampau. Hikayat juga diartikan sebagai cerita rakyat atau cerita Melayu klasik karena biasanya menggunakan bahasa Melayu sesuai dengan zamannya. Sebagai sebuah karya sastra, hikayat biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut Anonim Tidak diketahui siapa pencerita atau pengarangnya karena biasanya disampaikan secara lisan dan dipercaya sebagai kisah nyata. Mengandung unsur kemustahilan dan kesaktian Hikayat umumnya memiliki cerita yang tidak logis. Tokoh dalam ceritanya pun dikisahkan memiliki kesaktian atau kekuatan tertentu. Istana sentris Hikayat biasanya mengambil latar belakang kerajaan atau sebuah negeri yang dipimpin oleh raja. Tradisional Hikayat memiliki susunan atau cara pengungkapan yang klise karena isinya mempertahankan kebiasaan atau tradisi orang-orang zaman Cerita Pendek Cerpen Cerpen adalah karya sastra modern berbentuk prosa pendek dan bercerita tentang tokoh tunggal yang mengalami situasi tertentu. Kalaupun ada beberapa tokoh di dalam cerpen, ceritanya lebih fokus pada tokoh utama yang kisahnya diceritakan secara mendetail. Cerpen umumnya mengandung pesan tertentu dari si pengarang. Pesan ini bisa berupa kritikan, saran, atau nasihat yang diungkapkan secara eksplisit, baik di pertengahan maupun di akhir cerita. Namun terkadang pengarang juga mengungkapkan pesannya secara implisit atau tidak langsung. Pembaca pun memahami pesan tersebut lewat jalan ceritanya atau melalui karakter tokoh saat menghadapi situasi di dalam cerita tersebut. Karakteristik cerpen antara lain Jumlah katanya terbatas/ pendek Sesuai namanya, cerita pendek memiliki jumlah kata yang terbatas dan biasanya kurang dari kata. Karena itu cerpen sering dibaca sampai habis hanya dalam sekali duduk. Ceritanya beragam dan diambil dari kejadian sehari-hari Tidak seperti hikayat yang istana sentris, cerpen memiliki cerita dan latar yang lebih bervariasi, namun akrab dengan pembaca karena biasanya diambil dari kejadian sehari-hari. Cerpen bisa bercerita tentang anak sekolah, rumah tangga, kejadian di kantor, atau hal lainnya. Fokus pada satu masalah/ kejadian Isi cerpen selalu berkisah tentang seorang tokoh yang menghadapi suatu masalah tertentu dan bagaimana ia menyelesaikannya. Dimensi ruang dan waktu yang terbatas Cerpen umumnya hanya fokus pada satu peristiwa tunggal sehingga ruang dan waktu yang diceritakannya pun terbatas. Penokohan yang sederhana Watak atau karakter tokoh dalam cerpen tidak digali secara mendalam dan hanya diceritakan secara singkat/ juga Contoh Cerpen Singkat Beserta Struktur Teksnya Apa Itu Unsur Intrinsik, Unsur Ekstrinsik dalam Cerpen dan Novel Perbedaan Cerpen dan Hikayat dari Segi Bahasa Ada beberapa persamaan antara hikayat dan cerpen. Sebagai sebuah karya sastra, keduanya sama-sama menggunakan majas dan konjungsi, tapi tetap ada perbedaan dalam penggunaannya. Tak hanya itu, hikayat dan cerpen juga punya perbedaan dari bahasa yang dipakai. Berdasarkan modul Bahasa Indonesia Kemdikbud, berikut perbedaannya dari segi bahasanya 1. Bahasa yang digunakan Hikayat Menggunakan bahasa Melayu klasik dan biasanya memakai kata arkais. Kata arkais adalah kata-kata yang dianggap kuno atau jarang digunakan di masa sekarang. Cerpen Biasanya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa sehari-hari yang mudah dipahami oleh banyak orang. 2. Penggunaan majas Majas berfungsi untuk membuat cerita menjadi lebih menarik dan tidak monoton. Majas yang sering digunakan dalam hikayat maupun cerpen adalah majas antonomasia, metafora, hiperbola, dan majas simile/ perbandingan. Perbedaannya Hikayat Penggunaan majas pada hikayat biasanya lebih ditekankan untuk menggambarkan karakter tokoh. Cerpen Majas digunakan untuk menggambarkan hal yang lebih luas dan tidak terbatas pada tokoh saja. 3. Penggunaan konjungsi Hikayat dan cerpen sama-sama menggunakan konjungsi untuk menyatakan urutan waktu suatu kejadian. Perbedaannya Hikayat Hikayat biasanya menggunakan konjungsi dengan kata arkais atau kata yang sudah tidak lazim digunakan di masa sekarang, contohnya hatta dan syahdan. Cerpen Cerpen menggunakan konjungsi yang lebih populer dan mudah dipahami oleh pembaca di zaman modern, contoh ketika, lalu, juga Apa Itu Cerita Pendek Cerpen, Pengertian dan Strukturnya? Sinopsis Kumpulan Cerpen "Robohnya Surau Kami" Karya Navis - Pendidikan Kontributor Erika EriliaPenulis Erika EriliaEditor Yulaika Ramadhani Hikayat dan dongeng adalah dua bentuk prosa lama atau karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh kebudayaan Barat. Menurut KBBI, hikayat adalah karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu. Sedangkan dongeng dalam KBBI didefinisikan sebagai cerita yang
PERSAMAAN HIKAYAT DENGAN CERITA RAKYAT Fungsi dan tujuan umumnya sama, yaitu sebagai pelipur lara hati si pembaca 1. Keduanya merupakan salah satu karya sastra 2. Sama-sama menceritakan tentang kejadian masa lalu/lampau 3. Bertujuan untuk menyampaikan hal-hal yang baik atau berupa ajaran-ajaran bagi si pembaca. PERBEDAAN HIKAYAT DENGAN CERITA RAKYAT 1. Hikayat cenderung terikat oleh bahasa melayu, sedangkan cerita rakyat lebih luwes. 2. Isi hikayat biasanya bercerita tentang kehebatan dan kesaktian para raja, pangeran dll, sedangkan cerita rakyat umunya memiliki cerita tentang kehidupan masyarakat setempat. 3. Hikyat umumnya menggunakan kata pembuka “ Alkisah “ , sedangkan cerita rakyat menggunkan kata pembuka “ Pada Zaman Dahulu Kala “. 4. Hikaya biasanya menggunakan kata penghubung maka, syahibul hikayat, shahdan, pada itu dll, sedangkan cerita rakyat menggunakan kata penghubung kemudian, selanjutnya, begitupula dll. Contoh hikayat SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu. Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya sesuai kebiasaan masa itu. Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang kemudian datang menyusulnya membawa tongkat. “Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.” “Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.” Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk. Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi. Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.” Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.” “Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam. “La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] ungkapan geram, bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan. Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.” Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.” Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.” Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya “Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.” Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?” Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri Allah saya datang menyelamatkanmu.” Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.” Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan “Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.” Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya. Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang. Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman. Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya. Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan. Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau. Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka. Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur. Contoh cerita rakyat La Maddukkelleng lahir Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 – wafat Wajo, Sulawesi Selatan, 1765 adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana Arung Matowa Wajo Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu sambung ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan ia berhasil di negeri Pasir Kalimantan sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge Dewan Adat, beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe Inilah La Maddukelleng LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung Raja Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung Raja Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua 1713-1737. Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki. Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga pemasangan giwang puterinya I Wale di Cenrana daerah kerajaan Bone. La Maddukkelleng ditugaskan pamannya dia putera saudara perempuan La Salewangeng ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa maddenggeng dan sambung ayam mappabbitte. Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut karena mereka di wilayah kerajaan Bone, maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae. Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dianggap bersalah. Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai. La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo arung bentempola untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo La Tenri Wija Daeng Situju berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku. Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor Malaysia sekarang. Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714 La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka Malaysia Barat, kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim. Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai Sultan Muhammad Idris. Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah. Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja. La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi “SAMARINDA”. Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran. Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut marinir yang dipimpin oleh La Banna To Assa kapitang laut dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan. Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari. Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn 1733-1737 mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda. Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone orang bersalah terhadap Bone dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping wilayah Wajo ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone merangkap Datu Soppeng, Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo 1476 yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin. Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 seratus orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 tujuh ratus orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone, dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe. La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng pemangku Arung Matowa Wajo usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge Dewan Adat, beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo Didahului oleh Sultan Aji Muhammad Alamsyah Raja Pasir6—1736 Digantikan oleh Sultan Sepuh I Alamsyah
Ceritaceritarakyat yang berasal dari daerah-daerah di Nusantara ini dikemas dalam bentuk cerita bergambar. Dalam setiap cerita rakyat yang terdapat dalam buku ini banyak pesan dan amanat yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.Hikayat Malin Kundang merupakan cerita rakyat dari Sumatera Barat. Halini membentuk budaya dan kepercayaan yang berbeda-beda juga. Tiap daerah memiliki cerita rakyatnya sendiri di mana tiap cerita tersebut memiliki pesan moral yang sesuai dengan adat dan kepercayaan budaya masing-masing. Ini cerita rakyat dari Tanah Air yang kisahnya dikenal di berbagai wilayah. 12 Cerita Rakyat dari Berbagai Daerah di
Kumpulansoal pilihan ganda materi cerita rakyat (hikayat). Maka dengan itu, kakak memberi judul artikel . Pada kesempatan kali ini kakak ingin membagikan kumpulan soal pilihan ganda tentang cerita rakyat. Kumpulan soal pilihan ganda materi cerita rakyat (hikayat). Soal pilihan ganda beserta kunci jawaban tentang tumbuhan kelas 10.
Unsurinstrinsik hikayat adalah unsur pembangun yang berasal dari dalam cerita hikayat itu sendiri. Dengan Cerita Siswapedia Mirip Hari Yang Lalu Dongeng Binatang Karena Semua Tokohnya Binatang (Fabel) Dongeng Cerita Rakyat Berdasarkan Unsur Unsur Intrinsiknya Seperti Tema Satria Gembul Hikayat Legenda Mite Saga Dan Fabel Mirip Jan Contoh
DiSulawesi, ada cerita panji yang ditulis dalam bahasa Makassar, yang disebut Hikayat Cekele (Bahasa Melayu: Cekel ). [3] Sejak tahun 2017, berbagai naskah (manuskrip) cerita Panji telah dimasukkan oleh UNESCO ke dalam Warisan Ingatan Dunia, setelah setahun sebelumnya diajukan oleh berbagai perpustakaan dari Kamboja, Indonesia, Belanda
Penulisbuku non fiksi adalah orang yang memang paham dengan baik bidang yang ditulisnya. Sebuah data yang ditulis dalam buku dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 2. Dari Ciri-Cirinya. Selain itu, jika dilihat dari ciri-ciri bukunya, kamu juga pasti akan dapat melihat apa saja yang menjadi perbedaan buku fiksi dan buku non fiksi.
gambaranmasyarakat Melayu itu sendiri dan tata nilai, serta pola tingkah masyarakat. Karya sastra Melayu dalam bentuk prosa lama, sering dimasukkan unsur mitos yang sangat berlebihan. Seperti halnya dalam hikayat, secara umum dapat dijelaskan sebagai cerita yang mengandung unsur -unsur luar biasa terdapat pada manusia
.
  • yyuc469p6a.pages.dev/823
  • yyuc469p6a.pages.dev/387
  • yyuc469p6a.pages.dev/826
  • yyuc469p6a.pages.dev/911
  • yyuc469p6a.pages.dev/798
  • yyuc469p6a.pages.dev/940
  • yyuc469p6a.pages.dev/947
  • yyuc469p6a.pages.dev/784
  • yyuc469p6a.pages.dev/591
  • yyuc469p6a.pages.dev/720
  • yyuc469p6a.pages.dev/330
  • yyuc469p6a.pages.dev/638
  • yyuc469p6a.pages.dev/535
  • yyuc469p6a.pages.dev/519
  • yyuc469p6a.pages.dev/692
  • perbedaan hikayat dan cerita rakyat